Pameran CASA Indonesia 2018 akan segera digelar. Pada tiap tahunnya, pameran ini menjadi ajang unjuk karya bagi para arsitek dan desainer tanah air yang tidak hanya memanjakan mata, namun dapat memberikan inspirasi bagi khalayak yang akan terjun di bidang-bidang tersebut.

Sebelumnya, pada tahun 2015, CASA Indonesia menggelar the must have attend event edisi keenamnya di Grand Ballroom Hotel The Ritz-Carlton Pacific Place.

Hadir dengan tema Larger Than Life, karya-karya instalasi yang dipamerkan seakan mampu bercerita mengenai imajinasi-imajinasi dari para pembuatnya. 



Ada delapan karya arsitek dan desainer yang masuk ke dalam Designer Showcase di CASA Indonesia 2015. Mereka adalah; Eugenio Hendro, Kezia Karin, Vitorini dan Andi Madina (GAEA Architect), Hans Susantio,

Revanio Satria, Cassandra Etania, Dede F. Chaniago, dan Rafidiono Rahmat (The Archipelago Living Art), Alvin Tjitrowirjo (collab BYO Living), serta Cosmas D. Gozali.



1. Eugenio Hendro

Hadir dengan booth bertema introversy, Eugene mencoba menggambarkan sisi introvert dan kaku melalui kursi dan lemari yang terbuat dari kayu.



Namun, dibalik sifat tertutup yang diutarakan, suasana yang dibangun dengan bantuan dari kain sifon yang dilebur 3 tone warna biru membuatnya menjadi lebih luwes dan lembut.



2. Kezia Karin

Terbiasa dengan desain-desain feminin, Kezia Karin mengubah citranya pada gelaran CASA Indonesia 2015. Rancangan booth dengan konsep self destruct, Kezia mencoba menyampaikan pesan bahwa alam semesta sedang tidak baik-baik saja dan tangan-tangan manusia adalah salah satu penyebabnya.



Gambaran tersebut diwujudkan melalui wall treatment cermin dan plywood berlapis foto karya Dewi Adnyani dan anyaman polietilen berbentuk dua pohon keropos di atas lantai berpasir putih.



3. GAEA Architect

Founder GAEA Architect, Vitorini dan Andi Madina hadir dengan kursi dan meja yang ditata menjadi karya seni dan dianggap sebagai realita untuk untuk booth mereka di CASA Indonesia 2015. Dengan desain dinding yang menyerupai distorsi, mereka menjadikan dua jenis furnitur tersebut sebagai primadona karya mereka.



Booth yang dinamai Lowres ini memamerkan furnitur bermaterialkan potongan-potongan kayu pinus 3x3x5 yang disusun secara presisi dan penuh perhitungan.



4. Hans Susantio

Konsep Mandala yang berarti inti kehidupan dipilih Hans untuk menyatukan segala makna pada booth miliknya. Karena menurut Hans, esensi yang ada di bumi saat ini semua berawal dari pemikiran manusia yang hanya ada di dalam dan pada akhirnya berkembang dan keluar dari cangkangnya. 





Bentuk oktagon menjadi representasi pemikiran manusia dan perspektif-perspektif yang dimiliki, yang tadinya hanya sebuah lingkaran menjadi luas hingga delapan ruas.



5. Revano Satria

Sesuai dengan namanya Cellapod, Revanio Satria menggubah space miliknya berdasarkan sel-sel yang ada pada diri manusia yang terbentuk dan membuat sebuah keutuhan. Diharapkan bisa diaplikasikan guna memajukan dunia arsitektur Indonesia. 



Serta, di dalam Cellapod, kita diajak untuk mempertanyakan eksistensi manusia sebagai bagian kecil dari galaksi Bima Sakti melalui cara yang interaktif.



6. The Archipelago Living Art (TALA)

Cassandra Etania, Dede F. Chaniago, dan Rafidiono Rahmat yang tergabung dalam The Archipelago Living Art (TALA) mencoba memperkenalkan budaya minum jamu gendong untuk generasi Y dan Z yang datang di gelaran CASA Indonesia 2015 dengan judul Rupanejamu. 



Space yang penuh warna meliputi kain, payung, lukisan, botol jamu, hingga manekin mbok jamu menjadi daya tarik yang mampu menghidupkan kembali betapa menyenangkannya budaya minum jamu pada saat itu.



7. Alvin Tjitrowirjo

Berkolaborasi dengan BYO Living, Alvin menunjukkan bahwa kreasi anyaman pun dapat menjadi elemen arsitektur dengan melalui space berjudul Weave Me Back Home. 



Anyaman tersebut digunakan sebagai representasi dari budaya Indonesia. Dengan warna-warna yang menarik perhatian, menjadikan anyaman jadi hal modern meskipun sudah lama sekali kita mengenalnya.



8. Cosmas D. Gozali

Cosmas D. Gozali merancang space-nya dengan rangkaian 4.400 bambu dengan tengan teknik tradisional dan menggunakan sumpit bambu sebagai pasaknya. Melalui karya yang diberi judul Space To Human Behavior ini, Cosmas ingin bercerita mengenai perjalanan interaksi manusia dengan alam.



Diaplikasikan melalui interaksi instalasinya di mana, jika kita berjalan dengan gaduh bambu-bambu dikelilingnya akan ikut berguncang, namun sebaliknya jika kita berjalan tenang, bambunya pun tenang.


Foto: dok. CASA Indonesia